Home

JI dan Mujahidin KOMPAK

Leave a comment

Meledaknya konflik Ambon disambut para anggota JI dengan antusias. Antusias, karena mereka melihat akan ada banyak keuntungan bagi JI dengan adanya konflik agama. Seorang anggota JI mengungkapkan perasaannya:

“Sekalipun timbulnya konflik tersebut tidak ada campur tangan dari kelompok kami (Jama’ah Islamiyah), namun kejadian tersebut menjanjikan harapan baru buat kami. Yaitu memberi jalan buat kami untuk mendapatkan medan jihad dan menjadi pengobar semangat kami untuk berjihad yang selama ini kami tunggu-tunggu dan kami dambakan.

Kejadian ini juga memberi harapan buat saya untuk mengirimkan kawan kawan guna melakukan i’dad (latihan dan persiapan perang), sekaligus kesempatan untuk bisa terjun ke medan perang secara langsung. Dan kejadian ini pula yang bisa saya jadikan sebagai media dakwah untuk memahamkan jihad fisabilillah kepada masarakat, dan juga bisa saya jadikan sebagai alat untuk mengobarkan semangat jihad kepada kaum muslimin.

Persiapan jihad Ambon ini dibahas JI dalam rapat di Solo pada Juni 1999. Pertemuan ini dihadiri Abu Fatih, ketua Mantiqi II, Zulkarnaen, serta para anggota laskar khos seperti Zuhroni, Asep Darwin, Abdul Ghoni alias Umaer, Sawad alias Sarjiyo, Ali Imron, Mubarok dan Iain-lain. Proyek jihad Ambon ini berada di bawah tanggung jawab Zulkarnaen selaku ketua askary JI. Setiap peserta rapat juga mendapat tugas untuk mempersiapkan program jihad ini. Ada yang ditugaskan untuk mencari senjata dan bahan peledak, merekrut orang hingga mempersiapkan tadrib (pelatihan milker) di Maluku. Selain itu juga disepakati bahwa JI juga akan melaksanakan pembinaan teritorial di sana dengan tujuan membentuk wakalah-wakalah yang nantinya akan menjadi bagian dari Mantiqi Ukhro yang berpusat di Australia.

Namun persoalan dana membuat JI agak tersendat melaksanakan proyek jihad ini. Dana kas JI tentu saja jauh dari mencukupi untuk melaksanakan proyek ini. Sementara itu upaya buat menggalang dana dari masyarakat juga bukan hal mudah diperlukan lembaga yang kredibel dan bisa dipercaya. Persoalannya JI sendiri belum punya lembaga seperti itu. Untuk memecahkan persoalan dana ini, Abdullah Anshori alias Abu Fatih, ketua Mantiqi II, memutuskan bekerjasama dengan KOMPAK (Komite Penanggulana Krisisi), organisasi sosial yang berada dibawah DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia). la pun lantas menghubungi DDII. la meminta organisasi yang didirikan oleh M. Natsir ini membentuk cabang KOMPAK di berbagai kota. Tujuannya untuk menampung dana masyarakat yang akan dialokasikan untuk kegiatan jihad. DDII tak keberatan asal kegiatan ini tak saling merugikan.

Tak lama kemudian dibentuklah KOMPAK Semarang, KOMPAK Surabaya dan KOMPAK Solo. Hampir semua pengurusnya dipegang oleh orang-orang JI. Namun KOMPAK Semarang dan Surabaya ternyata mandul, tak bisa bekerja. Sementara KOMPAK Solo yang dipimpin Aris Munandar, alumni Afghanistan angkatan 9/1991, aktif sekali menggalang dana. Lelaki lulusan Ngruki ini juga punya kakak kandung yang aktif di biro hubungan luar negeri DDII, yaitu Ustadz Muzayin Abdul Wahhab. Nampaknya melalui bantuan kakaknya inilah, KOMPAK Solo mampu meraup dana bantuan, tak hanya dari masyarakat Indonesia, tapi juga dari lembaga-lembaga dana dari Timur Tengah. “Bahkan penggalangan dana KOMPAK pusat konon dibawah Solo.”99 Muncul kesepakatan antara KOMPAK Solo dengan JI bahwa untuk urusan umum, seperti bantuan kemanusiaan urusannya akan ditangani oleh KOMPAK. Sementara untuk urusan khusus, seperti dana jihad akan dikelola oleh JI. Juga disepakati soal kemungkinan dana kemanusiaan dialihkan menjadi dana jihad.

Dana KOMPAK ini salahsatunya dibelikan untuk membeli senjata dan bahan peledak. Beberapa anggota JI seperti Mubarok, Usaid alias Zainal dan Sarjio, bolak balik ke Mindanao. Di sana mereka dibantu oleh Faturrohman Al Ghozi mencari senjata dan bahan peledak. Mubarok dan kawan-kawan berhasil mendapatkan puluhan senjata jenis M16, pistol FN 45 dan Bareta, juga bahan peledak seperti Detonating Cord, TNT dan RDX. Senjata-senjata itu langsung didistribusikan ke Maluku.

Selain itu proyek jihad JI yang didanai KOMPAK adalah tadrib askary di desa Waimorat, Kecamatan Batuboal, Kabupaten Namlea. Diklat militer yang dimulai bulan Oktober 1999 ini diikuti oleh 12 peserta. Di antaranya adalah Asep Jaja dan Abdullah Sonata, keduanya adalah murid Ustadz Muzayin Abdul Wahhab, kakak kandung Aris Munandar yang menjadi ketua KOMPAK Solo. Pelatihan yang berlangsung tiga bulan ini dibimbing oleh seorang instruktur bernama Pak De alias Ilyas alias Muchtar, alumni Afghanistan angkatan 8/1990. Ilyas memang dikenal seorang instruktur handal yang menguasai ilmu agama sekaligus ilmu kemiliteran yang lengkap. Semua materi diklat militer mulai dari weapon training, tactic, map reading, hingga field enginering lengkap diajarkan oleh lelaki asal Kudus, yang juga pernah menjadi instruktur di kamp Hudaibiyah, Mindanao selama dua tahun (1995-1997). Selain ilmu militer, dalam pelatihan ini juga diajarkan berbagai doktrin jihad versi Salafy Jihadi. Tak heran pelatihan ini, berhasil mencetak alumni yang punya ideologi jihad, dengan kemampuan militer yang mumpuni.

Sebagian alumni pelatihan Waimorat ini menjadi tokoh penting dalam jihad di Ambon. Salahsatunya adalah Abdullah Sonata. Lelaki asal Jakarta ini juga ditunjuk sebagai Ketua KOMPAK Maluku yang mengurusi berbagai bantuan kemanusiaan. Selain itu kemampuan ilmu agama yang berpadu dengan ilmu askary, membuat dirinya menjadi pemimpin informal di kalangan sukarelawan jihad yang datang dari luar Maluku. Apalagi posisinya sebagai Ketua KOMPAK membuat ia menjadi lebih lagi dihormati, karena punya akses yang luas terhadap dana. Tak heran sebagian orang menobatkan dirinya sebagai pimpinan Laskar Mujahidin yang belakangan dikenal dengan sebutan Mujahidin KOMPAK. Salahsatu operasi laskar mujahidin yang dipimpin oleh Abdullah Sonata adalah penyerangan Markas Brimob di daerah Tantui pada pertengahan 2000. Aksi Sonata dan kawan-kawan yang juga dibantu oleh pasukan siluman—pasukan TNI dan Polisi Muslim yang melepaskan baju seragamnya dan ikut berperang di pihak umat Islam—berhasil menjebol gudang senjata Brimob, dan berhasil merampas lebih dari 800 senjata.

Situasi ini tak terlalu menggembirakan JI, gara-garanya KOMPAK yang awalnya hanya mengurusi bantuan kemanusiaan, kini menjadi ikut-ikutan mengurusi proyek jihad yang sebenarnya sudah disepakati akan diurus oleh JI. Situasi ini makin buruk karena Aris Munandar, sebagai ketua KOMPAK Solo, mendukung proses militerisasi di tubuh KOMPAK Maluku. Di antaranya KOMPAK Maluku seolah membikin pasukan sendiri, dan juga belakangan membikin tadrib askary sendiri. Tindakan Sunata dan Aris Munandar ini dianggap orang-orang JI sebagai, “Melenceng dari khitoh KOMPAK karena secara vulgar membawa KOMPAK ke arah asykary. Situasi makin diperparah lagi setelah muncul ketersinggungan dari Zulkarnaen terhadap Arismunandar. Penyebabnya Zulkarnain sering tersinggung kalau diminta pertanggungjawaban dana jihad. “Pak Aris sebagai ketua lembaga resmi saya lihat cukup longgar dalam mengucurkan dana untuk jihad, tapi disaat seperti Pak Zul diminta membikin laporan (formalitas), merasa tersinggung.  Situasi ini membuat kelompok yang punya moto, “Berjihadlah dengan harta dan jiwa dalam memerangi orang-orang kafir (Kristen), yang memerangi umat Islamini memutuskan beroperasi sendiri terpisah dari JI.

Perpecahan ini terlihat ketika keduanya terlibat jihad di Poso. Baik KOMPAK maupun JI punya program yang serupa bahkan terkesan berkompetisi. JI mengadakan tadrib askary, KOMPAK pun mengadakan diklat militer serupa. KOMPAK membina orang-orang lokal di daerah Kayamanya, JI juga menggarap warga Tanah Runtuh dan Gebangrejo. KOMPAK membentuk milisi Mujahidin Kayamanya yang kebanyakan anggotanya para mantan preman. Tak mau kalah, JI juga mengumpulkan mantan preman dalam organisasi Mujahidin Tanah Runtuh.Apa yang dilakukan oleh KOMPAK makin membikin marah orang-orang JI. Mereka sempat mengeluarkan larangan bagi Abdullah Sonata dan kawan-kawan memasuki wilayah-wilayah yang dikuasai oleh orang-orang JI.

Lepas dari perselisihan antara KOMPAK dengan JI. Proyek Jihad JI sebenarnya relatif cukup berhasil. Di kedua tempat ini, JI berhasil mencetak para mujahidin baru yang berpaham Salafy jihad. Contohnya di Maluku, mereka melahirkan Mujahidin KOMPAK. Di Poso mereka juga berhasil membentuk mujahidin Tanah Runtuh yang kebanyakan anggotanya para mantan Preman di Poso. Bahkan untuk Poso, program pembinaan teritorial JI sangat berhasil. Sebelum konflik Poso, anggota JI di Palu, Sulawesi Tengah hanya ada tiga orang. Namun setelah konflik berlangsung, Anggota JI jumlahnya membengkak hingga ratusanorang. Selain berhasil membentuk wakalah Palu, JI juga mampu membentuk dua wakalah baru di Poso, yaitu wakalah Haibar yang meliputi Poso dan sekitarnya, serta wakalah Tabuk yang meliputi wilayah Pendolo. Bahkan Haji Adnan Arsal, salah seorang tokoh Islam tradisionalis paling berpengaruh pun bisa direkrut menjadi anggota JI.

Proyek jihad JI di Poso dan Ambon menunjukan betapa efektifnya ajaran Salafy Jihadi tumbuh di wilayah konflik. Ajaran ini seperti menemukan kembali habitat utamanya. Jihad yang berarti qital fisabilillah, hukum jihad yang fardlu ‘ain menjadi ajaran-ajaran baru yang segera dipercaya kebenarannya oleh kaum muslimin dari berbagai latarbelakang sosial. Seperti yang terjadi pada kasus Mujahidin Kayamanya dan Mujahidin Tanah Runtuh. Mayoritas anggotanya para preman yang dikenal sebagai para pendosa. Latarbelakang keagamaan pun menjadi tidak penting. Haji Adnan Arsyal seorang tokoh Islam tradisionalis yang fanatik meninggalkan mazhab Syafii, dan memutuskan menjadi penganut ajaran Salafy Jihadi.

 

 

Antara Far Enemy dengan Near Enemy

Leave a comment

Tak hanya orang DI yang menolak, di kalangan internal JI pun timbul prokontra. Sebagian besar petinggi JI di Mantiqi I seperti Hanbali, Ali Ghufron mendukung fatwa ini. Sebaliknya para pejabat Mantiqi II seperti Ibnu Thoyib, Achmad Roihan dan Thoriqun menolak. Muncul perdebatan diantara kedua kubu.

Hanbali dan kawan-kawan berpendapat bahwa jihad melawan Amerika untuk membebaskan Jazirah Arab sekarang, menjadi prioritas utama. Mereka berdalih bahwa Amerika bukan sekadar menguasai tanah kaum Muslimin, tapi menduduki Al Haramain, atau tanah suci kaum Muslimin. Mengusir orang-orang kafir di Jazirah Arab harus disegerakan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, yang saat menjelang wafat dan dalam keadaan sakit keras masih memerintahkan agar umat Islam mengeluarkan kaum musyrikin dari Jazirah Arab. Karenanya jihad melawan Amerika tak bisa ditunda dengan alasan apapun.

Selain terpengaruh oleh fatwa Bin Laden, orang-orang di Mantiqi II ini juga terpengaruh oleh pemikiran Abu Qotadah Al Falisthini soal thoifah mansyuroh. Dalam bukunya Ma’alim Ath Thoifah Al Mansyurah (Jalan Thoifah Mansyurah)mantan murid Nasruddin Al-Albani, tokoh Salafy abad 20, ini menyebut bahwa thoifah mansyurah adalah thoifatul haq wal jihad atau sekelompok umat Islam pemegang kebenaran yang menurut hadis Nabiakan selalu ada, hingga akhir zaman yang salahsatu ciri utamanya, adalah tetap melaksanakan jihad, walaupun umat Islam lainnya sudah enggan berjihad. Singkatnya kelompok ini adalah kelompok yang berperang yang tidak menunda-nunda jihad. Akibat terpengaruh buku ini, orang-orang di Mantiqi 1 menjadi terobsesi masuk golongan thoifah mansyurah. Apalagi menurut buku ini, menjadi bagian dari kelompok ini syaratnya gampang, yaitu menyegerakan jihad.

Argumen ini dibantah oleh Achmad Roihan dan kawan-kawan yang menyatakan bahwa prioritas jihad JI adalah melawan pemerintah Indonesia yang dihakimi murtad. Alasannya penguasa murtad ini adalah musuh yang dituduh sebagai pihak pertama yang menumpahkan darah di hari suci itu. Selain itu banyak sekali umat Islam yang menjadi korban. Puluhan orang tewas dan luka, ribuan orang Islam terusir dari desanya dan sekitar 20 masjid dibakar.

Sementara itu di kota kecil Poso, Sulawesi Selatan terjadi konflik serupa. Sejak akhir 1998, di Poso sudah terjadi beberapa kali konflik komunal antara muslim melawan Kristen. Namun puncaknya pada 28 Mei 2000. Hari itu milisi Kristen menyerang kampung-kampung muslim di seluruh wilayah Poso. Dengan beringas mereka mengusir, melukai dan membunuh warga muslim. Namun, kekejaman paling buruk terjadi di Pesantren Walisongo yang terletak di selatan Kota Poso. Milisi Kristen membunuh sekitar 80 orang-orang tak bersenjata yang tengah berlindung di halaman masjid. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Pembantaian Walisongo.

Baik kasus “Tragedi Idul Fitri Berdarah” maupun “Pembantaian Walisongo” ini menjadi momen mobilisasi besar bagi pihak muslim. Pers memainkan peran yang sangat menentukan pada titik ini. Kemarahan pers di seantero negeri, khususnya dalam majalah-majalah keagamaan seperti Sabili yang luas dibaca dan selalu berkobar-kobar, telah menempatkan Ambon dan Poso menjadikan tempat orang-orang Muslim menjadi korban serangan oleh orang-orang Kristen fanatik.

Konflik antara komunitas muslim dengan komunitas Kristen ini telah membawa wacana baru di kalangan JI dan membuat perdebatan-perdebatan sebelumnya berhenti untuk sementara. Perdebatan ihwal siapa yang lebih utama diperangi apakah musuh yang jauh, seperti kafir harby atau musuh yang dekat seperti pemerintah murtad menjadi tak relevan dalam konflik Ambon dan Poso. Di sana, pihak yang dianggap musuh jauh berubah menjadi musuh yang dekat. Sementara itu perdebatan soal apakah jihad harus dilakukan sekarang atau ditunda dulu menjadi tak beralasan. Dengan adanya konflik agama di pintu jihad telah terbuka. Alasan bahwa jihad bisa ditunda karena kekuatan JI masih lemah, menjadi tak relevan, pasalnya lawan yang dihadapi adalah orang-orang Kristen di Ambon dan Poso yang dipandang jauh lebih ringan kekuatannya ketimbang musuh utama JI, yaitu pemerintah Indonesia atau Amerika dan sekutunya. Selain itu di sana, musuh berada di depan mata yang siap setiap saat bisa menyerang orang-orang Islam di sana. Tak ada alasan untuk mengatakan jihad bisa ditunda dan hanya fokus pada i’dad saja, karena setiap saat musuh bisa menumpahkan darah kaum muslimin.

 

Older Entries