Tak hanya orang DI yang menolak, di kalangan internal JI pun timbul prokontra. Sebagian besar petinggi JI di Mantiqi I seperti Hanbali, Ali Ghufron mendukung fatwa ini. Sebaliknya para pejabat Mantiqi II seperti Ibnu Thoyib, Achmad Roihan dan Thoriqun menolak. Muncul perdebatan diantara kedua kubu.

Hanbali dan kawan-kawan berpendapat bahwa jihad melawan Amerika untuk membebaskan Jazirah Arab sekarang, menjadi prioritas utama. Mereka berdalih bahwa Amerika bukan sekadar menguasai tanah kaum Muslimin, tapi menduduki Al Haramain, atau tanah suci kaum Muslimin. Mengusir orang-orang kafir di Jazirah Arab harus disegerakan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, yang saat menjelang wafat dan dalam keadaan sakit keras masih memerintahkan agar umat Islam mengeluarkan kaum musyrikin dari Jazirah Arab. Karenanya jihad melawan Amerika tak bisa ditunda dengan alasan apapun.

Selain terpengaruh oleh fatwa Bin Laden, orang-orang di Mantiqi II ini juga terpengaruh oleh pemikiran Abu Qotadah Al Falisthini soal thoifah mansyuroh. Dalam bukunya Ma’alim Ath Thoifah Al Mansyurah (Jalan Thoifah Mansyurah)mantan murid Nasruddin Al-Albani, tokoh Salafy abad 20, ini menyebut bahwa thoifah mansyurah adalah thoifatul haq wal jihad atau sekelompok umat Islam pemegang kebenaran yang menurut hadis Nabiakan selalu ada, hingga akhir zaman yang salahsatu ciri utamanya, adalah tetap melaksanakan jihad, walaupun umat Islam lainnya sudah enggan berjihad. Singkatnya kelompok ini adalah kelompok yang berperang yang tidak menunda-nunda jihad. Akibat terpengaruh buku ini, orang-orang di Mantiqi 1 menjadi terobsesi masuk golongan thoifah mansyurah. Apalagi menurut buku ini, menjadi bagian dari kelompok ini syaratnya gampang, yaitu menyegerakan jihad.

Argumen ini dibantah oleh Achmad Roihan dan kawan-kawan yang menyatakan bahwa prioritas jihad JI adalah melawan pemerintah Indonesia yang dihakimi murtad. Alasannya penguasa murtad ini adalah musuh yang dituduh sebagai pihak pertama yang menumpahkan darah di hari suci itu. Selain itu banyak sekali umat Islam yang menjadi korban. Puluhan orang tewas dan luka, ribuan orang Islam terusir dari desanya dan sekitar 20 masjid dibakar.

Sementara itu di kota kecil Poso, Sulawesi Selatan terjadi konflik serupa. Sejak akhir 1998, di Poso sudah terjadi beberapa kali konflik komunal antara muslim melawan Kristen. Namun puncaknya pada 28 Mei 2000. Hari itu milisi Kristen menyerang kampung-kampung muslim di seluruh wilayah Poso. Dengan beringas mereka mengusir, melukai dan membunuh warga muslim. Namun, kekejaman paling buruk terjadi di Pesantren Walisongo yang terletak di selatan Kota Poso. Milisi Kristen membunuh sekitar 80 orang-orang tak bersenjata yang tengah berlindung di halaman masjid. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Pembantaian Walisongo.

Baik kasus “Tragedi Idul Fitri Berdarah” maupun “Pembantaian Walisongo” ini menjadi momen mobilisasi besar bagi pihak muslim. Pers memainkan peran yang sangat menentukan pada titik ini. Kemarahan pers di seantero negeri, khususnya dalam majalah-majalah keagamaan seperti Sabili yang luas dibaca dan selalu berkobar-kobar, telah menempatkan Ambon dan Poso menjadikan tempat orang-orang Muslim menjadi korban serangan oleh orang-orang Kristen fanatik.

Konflik antara komunitas muslim dengan komunitas Kristen ini telah membawa wacana baru di kalangan JI dan membuat perdebatan-perdebatan sebelumnya berhenti untuk sementara. Perdebatan ihwal siapa yang lebih utama diperangi apakah musuh yang jauh, seperti kafir harby atau musuh yang dekat seperti pemerintah murtad menjadi tak relevan dalam konflik Ambon dan Poso. Di sana, pihak yang dianggap musuh jauh berubah menjadi musuh yang dekat. Sementara itu perdebatan soal apakah jihad harus dilakukan sekarang atau ditunda dulu menjadi tak beralasan. Dengan adanya konflik agama di pintu jihad telah terbuka. Alasan bahwa jihad bisa ditunda karena kekuatan JI masih lemah, menjadi tak relevan, pasalnya lawan yang dihadapi adalah orang-orang Kristen di Ambon dan Poso yang dipandang jauh lebih ringan kekuatannya ketimbang musuh utama JI, yaitu pemerintah Indonesia atau Amerika dan sekutunya. Selain itu di sana, musuh berada di depan mata yang siap setiap saat bisa menyerang orang-orang Islam di sana. Tak ada alasan untuk mengatakan jihad bisa ditunda dan hanya fokus pada i’dad saja, karena setiap saat musuh bisa menumpahkan darah kaum muslimin.