Tak hanya JI di Mantiqi II yang sibuk mengurus program jihad di Maluku, Mantiqi 1 punya program serupa. Di Malaysia mereka melakukan kampanye soal Ambon misalnya dengan menerbitkan buku informasi berjudul ‘Peristiwa Ambon’. Buku ini didominasi berbagai gambar kerusuhan Maluku seperti perusakan-perusakan masjid dan korban-korban umat Islam. Mereka juga membuat semacam yayasan amal bernama Al Ihsan untuk menggalang dana masyarakat muslim Malaysia untuk membantu umat Islam di sana. Mantiqi 1 juga mengirim para kadernya ke Maluku, termasuk di antaranya Dr. Azahari Husein, seorang ahli bom JI. Dosen Universitas Sains Malaysia, Johor itu sempat mengajar di kamp pelatihan Waymurot, Pulau Bum.109 Di luar itu, diam-diam Mantiqi 1 juga mempersiapkan operasi rahasia di Indonesia. Disebut operasi rahasia karena dikerjakan oleh tim-tim kecil dan dilaksanakan tanpa koordinasi dengan Mantiqi II.

Mereka berani melakukan operasi rahasia ini setelah Abdullah Sungkar, Amir JI yang juga tokoh yang mereka segani meninggal dunia pada akhir 1999. Setelah wafatnya Sungkar tak ada lagi orang yang ditakuti oleh Hanbali dan kawan-kawan. Apalagi penggantinya adalah Abu Bakar Ba’asyir, seorang pimpinan yang dianggap lemah oleh banyak orang JI. Akibatnya mereka merasa lebih bebas melakukan apapun yang mereka suka. Apalagi Hanbali dan kawan-kawan yang sangat terpengaruh oleh pemikiran thoifah mansyurah dari Abu Qotadah Al Falisthini menganggap bahwa dalam jihad difa’i atau jihad defensif izin dari pemimpin bukan menjadi syarat syah tidaknya jihad. la merujuk apa yang dilakukan oleh Abu Basyir, seorang sahabat Nabi yang melakukan jihad sendirian, tanpa perintah dari Nabi Muhammad, yang saat itu sedang mengadakan perjanjian damai dengan orang-orang Kafir di Mekkah.

Rancangan proyek rahasia mulai disusun oleh Hanbali pada akhir 1999. Operasi ini diberi nama operasi Al’lmmatul’Kuffaar operasi penumpasan para pemimpin kafir. Sebenarnya operasi ini adalah pelaksaan terhadap doktrin irhabiyah atau terorisme dari paham Salafy Jihadi. Tujuan dari operasi ini adalah aksi balas dendam atas kematian umat Islam di Maluku dan belakangan di Poso. Sasarannya adalah para pendeta dan orang-orang Kristen yang dianggap terlibat dalam kerusuhan-kerusuhan di sana. Operasi ini disusun setelah Hanbali dan kawan-kawan mendengar rumor yang beredar bahwa ada rencana jahat dari orang-orang Nasrani untuk memindahkan konflik agama ke luar Maluku. Awalnya rumor itu beredar pada April 1999 di daerah Solo dan Boyolali yang memang menjadi basis kelompok JI.Rumor itu berasal dari selebaran gelap yang menyebutkan, adanya rencana jahat para tokoh Kristen di Solo dan sekitarnya, untuk meledakkan kota Solo menjadi ‘Ambon Kedua. Selebaran itu menyebutkan bahwa rancangan jahat itu dibicarakan dalam sebuah rapat tertutup di SMKK (Sekolah Menengah Kejuruan Kristen) Simo Boyolali pada 39 Maret 1999. Rapat itu juga membahas bahwa umat Kristen harus selalu waspada dengan banyaknya pondok-pondok pesantren yang anti Kristen. Disebut juga bahwa di daerah Simo ada satu pesantren yang berbahaya karena mengajarkan para santrinya untuk menghancurkan orang-orang nasrani. Dalam rapat itu juga disebut bahwa mereka telah melakukan pelatihan militer untuk persiapan “Ambon Kedua”.

Awalnya informasi selebaran ini tak terlalu dipercaya, namun beberapa hari kemudian makin banyak orang yang percaya setelah terjadi insiden di Pesantren Darus Syahadah, Simo, Boyolali yang juga merupakan pesantren JI. Kejadiannya pada 8 April 1999 menjelang tengah malam. Pesantren itu didatangi masa yang tak dikenal yang diangkut oleh tiga truk. Masa tak dikenal itu sempat memutuskan kabel listrik pesantren. Beberapa orang dari mereka berusaha masuk ke dalam pesantren. Namun mereka kepergok para santri. Sempat terjadi kejar-kejaran namun massa tak dikenal itu berhasil kabur dengan truk. Beberapa jam kemudian sejumlah orang tak dikenal kembali mendatangi pesantren ini. Namun lagi-lagi mereka kepergok para santri yang sudah siaga. Seperti sebelumnya, mereka berhasil kabur. Kejadian di pesantren JI ini kemudian dikaitkan dengan informasi selebaran yang beredar sebelumnya.

Setelah insiden itu, isu Solo bakal dijadikan “Ambon Kedua” makin dipercaya. Berbagai ormas Islam segera bersiaga. Berbagai ormas Islam kemudian membentuk Front Pemuda Islam Surakarta. Belakangan isu ini semakin berhembus kencang setelah ada investigasi dari salahsatu ormas Islam yang menyampaikan informasi bahwa pelatihan militer Laskar Kristus benar-benar ada. Pelatihan rahasia itu berlangsung di Bukit Hormon, Kecamatan Karang Pandan, Kabupaten Karanganyar.

Pada 16 April 1999 ribuan massa ormas Islam Solo mengadakan aksi Apel Siaga di Stadion Manahan Solo. Apel Siaga ini sebagai aksi unjuk kekuatan massa ormas Islam yang menyatakan siap berjihad dan mereka juga menuntut aparat untuk mengusut rencana jahat orang-orang Kristen. Sementara itu, orang-orang JI di Solo dan Jawa Tengah juga sudah bersiap. Senjata-senjata sudah mereka keluarkan. Namun aksi mereka ini diredam oleh Achmad Roihan alias Saad yang meminta massa JI bersabar karena ia melihat bahwa isu ini sarat muatan politik. Tak jelas apa yang dimaksud pernyataan itu, tapi yang pasti hlmbauan Achmad Roihan ini diikuti oleh para anggota JI walaupun dengan hati yang mangkel,

Isu serupa juga diterima orang-orang JI pada akhir tahun 1999. Tapi berbeda dengan isu pertama yang beredar luas di masyarakat. Informasi kali ini diterima oleh tim Amniah wal Istikhbarot atau tim intelegen Mantiqi I. Kali ini bukan Solo yang akan di-Ambon-kan tapi Medan. Disebutkan bahwa gereja-gereja di Medan telah dijadikan tempat pelatihan Laskar Kristus, dan juga tempat menumpuk senjata. Menyikapi informasi itu, Hambali menyiapkan sebuah operasi rahasia untuk menyerang gereja-gereja dan para pendeta, sekaligus sebagai aksi balas dendam terhadap pembunuhan orang-orang Islam di Maluku. Operasi rahasia ini diberi nama operasi penyerangan Ai Immatul Kuffar (para pemimpin Kafir). Hambali menugaskan Abdul Aziz alias Imam Samudera sebagai kordinator operasi rahasia. Sementara itu Enjang Nurjaman alias Jabir diangkat sebagai komandan lapangan. Belakangan keduanya juga dibantu oleh Akim Akimudin, anggota JI dari Tasikmalaya yang juga teman dekat Jabir. Untuk melaksanakan proyek ini, Imam Samudera kemudian membentuk tim kecil—walaupun namanya batalion —yang disebut Tentara Islam Batalion Badar (TIBB), yang bertugas melaksanakan operasi. Mereka merencanakan operasi penyerangan pertama di Medan. Di Medan beberapa orang JI Medan diajak bergabung dengan TIBB. Para anggota TIBB kemudian mengadakan survei ke seluruh gereja di Medan serta nama-nama pendetanya.

Pada April 2000, TIBB menetapkan bahwa operasi penyerangan gereja akan dimulai pada Mei 2000. Penetapan waktu tersebut dilakukan karena mereka mendengar informasi lebih rinci soal rencana jahat orang-orang Kristen untuk menyulut konflik di Medan. Informasi yang mereka terima, operasi untuk menyulut konflik di Medan itu disebut operasi Richard 1 yang merupakan kelanjutan dari operasi Santa Millineum di Maluku. Disebutkan juga rencana jahat ini akan dimulai pada hari Minggu pada minggu ketiga bulan Juni 2000.

Minggu 28 Mei 2000, satu bom meledak di gereja GKPI Jalan Jamir Ginting, Padang Bulan, Medan. Bom ini melukai lebih dari 20 jama’ah yang sedang kebaktian. Beberapa jam kemudian aparat keamanan berhasil menjinakan dua bom lainnya di gereja HKBP Jalan Imam Bonjol dan Kristus Raja Jalan MT Haryono, Medan. Inilah aksi pertama TIBB. Beberapa hari kemudian TIBB mengeluarkan beberapa pernyataan di internet yang menyatakan pertanggungjawaban mereka atas aksi pemboman. Dalam dokumen itu dinyatakan,

“Pemboman yang kami lakukan juga sebagai peringatan awal kepada anda, bahwa Umat Islam kali ini lebih waspada dan bersiap sedia dibandingkan dengan kejahatan licik yang anda lakukan terhadap saudara-saudara kami di Ambon”.

“Kami juga tidak mungkin melepaskan pengintaian kami terhadap anda dan pendeta-pendeta anda yang jelas-jelas menggunakan gereja sebagai Indoktrinasi perang. Kami tahu 100% bahwa di balik kata ‘kasih’ dan ‘ibadah’ Anda telah menyiapkan ribuan parang, peluru dan bahkan bom ! Anda lakukan semua itu di gereja. Menjadi serangan kami terhadap gereja-gereja anda adalah serangan kami terhadap Kubu pertahanan anda! Bukan semata-mata sebagai gereja. Dan kami tahu benar bahwa pendeta-pendeta dan pastor-pastor anda telah disumpah oleh Vatican dan Paus Paulus II untuk menyalakan dan meneruskan operasi perang Salib dengan nama Operasi Richard I.

Konflik agama yang dicurigai oleh Imam Samudera dan kawan-kawan akan meledak di Medan tak pernah terjadi. Tanpa diduga pada hari yang sama, 28 Mei 2000 konflik agama justru meledak di Poso, Sulawesi Tengah. Ketika TIBB meledakkan bom di Medan, kerusuhan antar penganut agama sedang memuncak di Poso. Dalam kerusuhan itu puluhan umat Islam tewas dan ribuan orang terusir dari kampung halamannya. Kejadian Poso ini makin menguatkan prasangka orang-orang Mantiqi I bahwa orang-orang Kristen benar-benar berniat jahat.

Karenanya, Batalyon Badar terus melakukan berbagai aksi penyerangan terhadap orang-orang Kristen. Pada Agustus 2000, Batalyon Badar menyerang gereja GKII di Jalan Bunga Kenanga, Padang Bulan, Medan. Aksi penyerangan para pendeta juga mulai dilakukan, mereka menembak pendeta J. Surbakti. Mereka juga berusaha membunuh pendeta MJ. Sitorus dengan meletakkan bom di depan rumahnya.

Sementara itu pada akhir 2000, Hanbali mendapat informasi bahwa gereja-gereja di Indonesia telah dijadikan tempat penimbunan senjata. Informasi ini ditindaklanjuti oleh Hambali dan kawan-kawan dengan merencanakan serangan bom di berbagai kota pada saat yang bersamaan. Pada 24 Desember 2000, Batalion Badar meledakkan 25 bom di delapan kota dalam waktu yang hampir bersamaan. Aksi ini menyebabkan 17 jiwa melayang dan sekitar 120 orang terluka. Sebenarnya apa yang terjadi tak sedramatis yang direncanakan. Untuk aksi malam natal itu, TIBB menyiapkan lebih dari 50 paket bom yang akan diledakkan di lebih dari 50 gereja dan dua rumah pendeta di 11 kota di Indonesia. Namun tak semua meledak. Hanya 25 bom yang meledak di delapan kota. Sementara itu, di Medan 11 paket bom yang diletakan di sembilan gereja dan dua rumah pendeta gagal meledak. Sementara di Bandung, bom meledak ketika sedang dirakit. Kecelakaan di Bandung ini menewaskan Jabir komandan lapangan TIBB dan Akim Akimudin, wakilnya Jabir. Sementara itu di Ciamis bom meledak ketika sedang dibawa oleh si pelaku menuju gereja yang akan dibom.

Aksi peledakan gereja-gereja di berbagai kota ini tak hanya ditujukan untuk membalas dendam atau meneror musuh, Hambali punya tujuan yang lebih luas yaitu membuka pintu jihad. Seorang pelaku pemboman mengatakan, “keterlibatan saya dengan beberapa aksi pengeboman adalah memiliki tujuan dan harapan tersendiri, yaitu mungkin dengan melakukan pengeboman terhadap pihak yang kami anggap sebagai musuh dan juga dalam rangka melaksanakan kewajiban jihad di jalan Allah, bisa menjadi penyebab Allah membuka medan perang antara kaum’ muslimin dengan orang-orang kafir.

Jelasnya dengan melakukan aksi-aksi pemboman di luar wilayah konflik seperti kasus Bom Natal, Hambali, Ali Imron dan kawan-kawan mengharapkan konflik bisa meluas di Indonesia. Diharapkan aksi pemboman gereja, akan melahirkan aksi balas dendam dari orang-orang Kristen, apalagi dalam keyakinan orang-orang JI, orang-orang Kristen sudah sangat siap untuk melakukan pembalasan terhadap orang Islam merujuk pada informasi bahwa kaum Nasrani telah menumpuk senjata di gereja-gereja dan siap menyerang orang Islam. Nah, seandainya di kota-kota yang gerejanya di bom, atau di tempat lain orang-orang Kristen balas menyerang orang-orang Islam, maka di tempat tersebut secara otomatis terbuka pintu jihad. DI tempat seperti itu JI mudah membangkitkan jihad umat Islam, seperti yang mereka lakukan di Maluku dan Poso. Wilayah-wilayah konflik ini juga menjadi tempat yang baik untuk melakukan perekrutan anggota dan bila memungkinkan JI bisa membangun qoidah aminah di sana. Bila semua ini berhasil dilakukan maka JI lebih mudah mengikrarkan jihad musholah (jihad perang) melawan pemerintah Indonesia.Inilah yang dimaksud oleh Hambali dalam obrolannya dengan para anggota JI di Malaysia, bahwa pemboman-pemboman seperti Bom Natal juga bermaksud memudahkan jalan untuk mendirikan Daulah Islamiyah.

Namun aksi Bom Natal ternyata tak menghasilkan dampak yang diharapkan. Malahan dampak yang muncul benar-benar di luar dugaan orang-orang JI. Bukannya orang-orang Kristen menjadi berseteru dengan orang-orang Islam, yang terjadi malah sebaliknya, baik orang Islam maupun orang Kristen menjadi bersatu mengecam serangan bom di berbagai kota. Sebagai reaksi atas pemboman tersebut, maka dibentuklah Forum Indonesia Damai (FID), di mana didalamnya berkumpul tokoh-tokoh Islam dari berbagai ormas dan’tokoh Katolik serta Protestan seperti seperti Nurcholis Madjid (tokoh Paramadina), Said Agil Siraij (tokoh NU), Hidayat Nur Wahid (Presiden Partai Keadilan Sejahtera), Mudji Sutrisno (tokoh Katolik), Frans Magnis Suseno (tokoh Katolik), SAE Nababan (tokoh Kristen Protestan). Para tokoh itu bekerja keras untuk mencegah terjadinya aksi balas dendam dari umat Nasrani. Alih-alih mendapat simpati malah menuai makian. Alih-alih dianggap sebagai mujahid para pelaku malah dituding sebagai teroris.

Melihat reaksi-reaksi yang jauh dari harapan, akhirnya TIBB pada sekitar awal Januari 2001 mengeluarkan bay an (penjelasan) yang panjang soal aksi Bom Natal.TIBB sadar bahwa aksi pemboman gereja dan upaya pembunuhan pendeta, serta timbulnya korban, seperti kaum wanita dan orang Islam, telah memicu kontroversi, soalnya dalam pemahaman jihad orang-orang Islam di Indonesia dalam berperang dilarang menyerang gereja, membunuh pendeta dan menyerang kaum sipil seperti wanita, apalagi orang Islam dijadikan sasaran.

Bayan itu menerangkan bahwa pendeta yang tak boleh dibunuh adalah pendeta yang mengasingkan diri dan mengabdikan diri dalam tempat peribadatannya.

“Adapun pendeta yang ikut serta bergaul dengan masyarakat bahkan menjadi provokator dan memimpin kegiatan-kegiatan yang ada unsur memerangi Islam dan kaum muslimin dan memurtadkan umat Islam, maka boleh dibunuh bahkan wajib dibunuh, karena ia termasuk immatul kufar (pemimpin-pemimpin orang kafir). Demikianlah menurut ahlul llm termasuk Imam Ahmad, Imam Asy-Syafii, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’I yang artinya “Bunuhlah pembesar orang-orang musrik’. Pendapat mereka ini didasarkan pada surat At-Taubah (9) ayat 14. Telah nyata bahwa para pendeta di Indonesia dan tempat-tempat yang lain pada hari ini, hampir kesemuanya adalah termasuk dalam golongan ke-2 seperti mana yang diterangkan di atas, baik langsung maupun tak langsung.

Lebih jauh, berkaitan dengan penyerangan tempat ibadah, bayan ini berpendapat bahwa penyerangan gereja di Indonesia dibenarkan, karena gereja-gereja digunakan sebagai tempat makar terhadap umat Islam, misalnya sebagai pusat kristenisasi dan pusat penyerangan terhadap umat Islam, seperti di Poso dan Maluku, bahkan termasuk di luar wilayah konflik.

“Lebih daripada itu lagi ada beberapa informasi yang diperoleh dari beberapa sumber yang dapat dipercayai bahwa terdapat beberapa gereja yang bukan di tempat konflik, artinya bukan di kepulauan Maluku dan Poso, yaitu di tempat-tempat yang sementara ini masih aman, ternyata dijadikan gudang untuk menyimpan senjata yang bisa mereka pergunakan bila dan kapan saja, yang mereka anggap waktunya tepat untuk membantai kaum muslimin, seperti yang mereka telah lakukan sebelumnya di kepulauan Maluku dan Poso. Maka gereja yang seperti ini boleh dihancurkan bahkan menjadi wajib hukumnya bagi kaum muslimin untuk menghancurkannya.

Sementara itu soal korban orang-orang sipil Tentara Islam Batalion Badar menjelaskan,

“Pada asalnya perempuan, anak-anak, orang tua, ahli ibadah yang berada di tempat-tempat peribadatan dan orang Islam hukumnya tidak boleh dibunuh, demikianlah menurut beberapa hadis dan pendapat ahlul ilmi, tetapi jika mereka berada di suatu tempat di mana tempat tersebut menjadi sarang musuh-musuh mujahidin, sehingga mujahidin menjadikannya sebagai target maka dalam hal ini boleh dilakukan dengan niat dan tujuan untuk membunuh musuh-musuh tersebut, bukan diniatkan untuk membunuh orang-orang yang dilarang untuk dibunuhnya seperti yang tersebut di atas, Rasulullah SAW melemparkan roket manjaniknya terhadap penduduk Thaif sedangkan didalamnya terdapat anak-anak,wanita dan orang tua.

Kontroversi soal aksi-aksi TIBB sebenarnya tak hanya menyulut kontroversi di kalangan umat Islam saja, bahkan di kalangan anggota JI sendiri. Menurut AH Imron, bahkan mayoritas alumni Afghanistan dan alumni Moro pun tak menyetujuinya.Salahsatunya karena aksi tersebut melakukan penyerangan terhadap tempat ibadah yang jelas dilarang oleh ajaran Islam.Apalagi klaim bahwa orang-orang Kristen menimbun senjata dan merencanakan aksi penyerangan terhadap umat Islam adalah klaim-klaim yang berdasarkan prasangka yang tak terbukti kebenarannya. Seperti yang diakui oleh Hasyim Abbas, pelaku Bom Natal di Batam yang sempat mensurvei gereja-gereja di sana selama beberapa hari, menyatakan tidak menemukan senjata-senjata yang ditumpuk di geteja, bahkan juga tidak ada kata-kata yang menunjukan permusuhan terhadap umat Islam. Namun meskipun informasi tersebut sudah disampaikan kepada Hambali, namun pimpinan Mantiqi 1 ini tetap ngotot meneruskan aksi pemboman.

Banyaknya kecaman baik dari umat Islam maupun internal JI, serta penangkapan beberapa pelakunya tak membuat mereka menghentikan aksi-aksi terornya. Pada Juli 2001 mereka meledakkan gereja di komplek Angkatan Darat dan Angkatan Laut di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur. Mereka juga melanjutkan aksinya dengan membom gereja Bethel di Semarang. Tak berhenti di sana, pada September 2001 mereka merencanakan aksi peledakan di acara kebaktian di Atrium Senen, Jakarta Pusat, namun aksi ini gagal karena bom yang meledak sebelum waktunya. Seorang anggota TIBB yang bernama Taufik Abdul Halim alias Dani, anggota JI dari Malaysia ikut menjadi korban. Penangkapan terhadap Taufik juga berbuntut penangkapan terhadap Edy Setiono alias Usman, anggota laskar khos. Akibat penangkapan-penangkapan ini, para personil TIBB banyak yang melarikan diri.