Home

Konsolidasi DI dan Imam Baru

Leave a comment

Sementara para kader DI di Afghanistan sibuk mengikuti pendidikan milker, di Indonesia, DI mengalami berbagai peristiwa, mulai dari terbongkarnya jaringan usroh hingga terbentuknya kepemimpinan baru Jama’ah Darul Islam. Aksi penumpasan gerakan usroh di Jakarta ini ternyata tak berhasil melumpuhkan gerakan Darul Islam. Tanpa diketahui aparat keamanan, sejak akhir 1986, beberapa orang-orang DI, di luar kelompok usroh, mencoba mengkonsolidasi kekuatan DI yang tersisa. Mereka bukan orang baru, tapi tokoh-tokoh DI lama yang baru bebas dari penjara. Mereka sempat ditangkap dan dihukum karena kasus Komando Jihad. Penggagas upaya konsolidasi ini adalah Ujang Bahrudin. la adalah tokoh DI asal Lampung. Lelaki yang juga teman dekat Warman ini sempat ditangkap aparat keamanan pada 1978. Selepas bebas ia kemudian pindah ke daerah Babakan Ciamis, Kota Bumi, Lampung. Beberapa mantan anggota pasus (pasukan khusus) pimpinan Warman pun ikut bergabung, di antaranya Lukman alias Banban.Di sana mereka membuka usaha kontraktor. Reputasi mereka sebagai mantan anggota gerombolan Warman ternyata memuluskan usaha mereka sendiri. Pemerintah daerah setempat memberi mereka jatah proyek pembangunan jalan. Tak heran dalam waktu singkat bisnis mereka lumayan maju. Rumah beserta perabotan, mobil, belasan truk dengan cepat bisa mereka beli dari keuntungan bisnis kontraktor itu. Sebagian keuntungan juga digunakan untuk menolong orang-orang DI lainnya. Keberhasilan usaha Ujang Baharudin di Kota Bumi ini, menjadikan kota tersebut basis bam gerakan DI di Lampung dan juga basis ekonomi.

Pada akhir 1986, di kalangan DI Lampung muncul gagasan soal perlunya mengkonsolidasi kembali kekuatan DI, serta mengisi kekosongan kepemimpinan Darul Islam. Untuk itu sejak awal 1987, mereka mulai membangun kembali komunikasi dengan orang-orang DI yang tersebar di berbagai daerah, seperti Medan, Jawa Barat, Jawa Tengah termasuk Sulawesi Selatan. Tak hanya itu, Ujang Bahrudin dan kawan-kawan juga berhasil menjalin hubungan dengan orang-orang usroh Jakarta, yang pada saat yang sama, juga sedang mengkonsolidasi diri. Saat itu kepemimpinan usroh Jakarta dipegang oleh Ahmad Furzon alias Broto, dan dibantu oleh Ahmad Harisun, Yoyo alias Asep Danu, serta Ade Buchori. Saat itu usroh Jakarta sendiri sedang berusaha mengkonsolidasi diri, karena terceraiberai, setelah terbongkarnya jaringan usroh Jakarta. Ahmad Furzon alias Broto diangkat menjadi pimpinannya.

Sementara itu, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan DI, Ujang Bahrudin mencoba berkonsultasi dengan Syarifudin Gozin, salah seorang tokoh tua DI Lampung. Ujang membicarakan gagasan soal perlunya pengisian posisi Imam Baru pasca Adah Djaelani tertangkap. Mereka kemudian membuat daftar tokoh-tokoh DI tua yang ada di luar. Dalam diskusi tersebut keluarlah nama Ajengan Masduki. Ajengan Masduki sendiri adalah anggota Dewan Fatwa Darul Islam pimpinan Adah Djaelani. la ikut ditangkap ketika Adah Djaelani tertangkap. Nasibnya lebih baik dari Adah Djaelani, ia bebas sekitar 1984. Selepas itu dia menetap di Cinjur, Jawa Barat. Nama aslinya Abdullah Muhammad Masduki, namun lebih akrab disebut Ajengan Masduki. Sebutan Ajengan dalam masyarakat Jawa Barat merujuk kepada orang yang punya pengetahuan agama yang tinggi. Di kalangan orang-orang DI lama, Ajengan Masduki dianggap sebagai salah satu ulama terkemuka. Ia sudah bergabung dengan DI sejak awal, karenanya ia sering disebut orang DI generasi Gunung Cupu. Ia juga sempat diangkat menjadi Bupati DI di Tasikmalaya.

Ujang Bahrudin kemudian menemui Ajengan Masduki di Cianjur. Kepada Masduki, Ujang mengemukakan pendapatnya perlunya mengisi kekosongan kepemimpinan di Jama’ah Darul Islam. Tak lupa ia menanyakan kemungkinan Ajengan Masduki menduduki posisi imam yang kosong. Ajengan Masduki menjawab: “Saya ini abid (hamba) mujahid. Kalau para mujahid kehilangan prajurit, maka saya akan menjadi prajurit. Kalau para mujahid kehilangan orangtuanya, saya akan menjadi ayah bagi mereka. Kalau seandainya, mujahid kehilangan pemimpin (imam), saya bersedia untuk memimpin. Asal dilakukan secara prosedural,” jawab Ajengan Masduki. Kemudian Ujang Baharudin pun menceritakan bahwa di Lampung, mereka sudah membangun daerah basis, dia menanyakan kesediaan Ajengan Masduki untuk hijrah ke sana. “Hari ini pun saya siap pindah ke sana, kalau para mujahid membutuhkan saya ke sana.

Namun berkaitan dengan kepemimpinan, Ajengan Masduki mengatakan bahwa masih ada orangtua selain dirinya yang juga saat itu ada di luar. Dia adalah Abu Suja. Akhirnya rombongan Ujang Bahrum dan Ajengan Masduki pun mendatangi Abu Suja di Bandung. Abu Suja sendiri tak keberatan dengan usulan perlunya mengisi kekosongan kursi Imam. Namun dia sendiri menolak duduk dalam posisi itu dengan alasan kesebatan. Mantan ketua Dewan Fatwa DI di zaman Adab Djaelani ini malah balik menawarkan Ajengan Masduki untuk menduduki posisi tersebut. “Bendera sekarang lebih baik dipegang oleh Ajengan saja,” ujar Abu Suja. Namun, Ajengan saat itu pun menolak, menurutnya peralihan kepimimpinan ini harus dilakukan secara prosedural. Akhirnya, untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Ajengan Masduki atas nama Dewan Fatwa mengeluarkan Maklumat Dewan Fatwa No. 1/1987 dalam rangka mempersiapkan formatur Majelis Syuro Negara Islam Indonesia, yang akan bersidang untuk membahas imam pengganti. Dipilih sebagai ketua formatur Mia Rasyid Ibrahlm, tokoh DI Ciamis yang sempat ditangkap pada 1978 karena tudingan Komando Jihad. Sementara anggota tim formatur ada lima orang termasuk Ajengan Masduki dan Ujang Baharudin.

Akhirnya pada 4 November 1987, diadakan sidang majelis Syuro di Lampung. Tim formatur sendiri sepakat mengusulkan Ajengan Masduki untuk menduduki posisi Imam yang kosong. Ada empat alasan kenapa tim formatur memilih Ajengan Masduki. Pertama, Ajengan Masduki salahsatu mujahid tertua yang masih aktif. Kedua, Ajengan Masduki termasuk orang yang merintis Gunung Cupu. Ketiga, Ajengan Masduki pernah duduk sebagai Komandan Komandemen Daerah di zaman SMK. Terakhir, Ajengan Masduki juga merupakan anggota Dewan Fatwa pada kepemimpinan Tengku Daud Beureueh dan Adah Djaelani. Dalam pertemuan itu juga sempat muncul dua nama kandidat lainnya yaitu Abdul Fatah Wirananggapati dan Abdullah Sungkar. Nama Abdullah Sungkar ini diusulkan oleh Kyai Khoer Affandi, tokoh tua DI yang juga pimpinan Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya yang menganggap perlu adanya wakil dari golongan muda.

Meskipun ada beberapa nama lain, sidang syuro di Lampung pada 4 November 1987, memilih Ajengan Masduki sebagai pejabat sementara Imam Negara Islam Indonesia. Susunan kabinetnya adalah:

 

Imam (sementara)                              :    Ajengan Masduki

Sekretaris Negara                               :    Mamin alias Abdul Haq alias Ustadz Haris

Menteri Penerangan                           :    Mochtar Ghozali

Menteri Kehakiman                           :    Abu Bakar Ba’asyir

KPWB Jawa Madura                         :    Mia Ibrahlm

KUKT Luar Negeri                            :    Abdullah Sungkar

KUKT Dalam Negeri                         :    Ujang Bahrudin

 

Kabinet Ajengan Masduki menekankan pada dua isu utama. Diplomasi luar negeri dan kelaskaran. Diplomasi luar negeri diperlukan karena dirasa salahsatu kelemahan dari perjuangan DI, adalah lemahnya dukungan dari luar negeri. Abdullah Sungkar diangkat menjadi KUKT (Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi) Luar Negeri, semacam pimpro untuk proyek lobi-lobi internasional. Untuk mengurus kelaskaran, dipercayakan kepada Broto alias Ahmad Furzon yang diangkat sebagai staf KPWB (Komandeman Perang Wilayah Besar) Jawa-Madura). Tugas Broto adalah mempersiapkan dan mengirimkan kader-kader DI ke Afghanistan.

Untuk memperkuat dukungan luar negeri serta meningkatkan program militer, pada 1988 Ajengan Masduki, ditemani Abdullah Sungkar, serta Abu Bakar Ba’asyir berangkat ke Afghanistan. Mereka bertemu dengan Syaikh Rasul Sayyaf. Dalam pertemuan itu Ajengan Masduki meminta bantuan Syaikh Sayyaf untuk mengirimkan senjata ke Indonesia. Namun, pimpinan Ittihad Al Islamy itu tak bisa memenuhi permintaan ini, karena mereka tak punya fasilitas untuk mengirim senjata ke Indonesia. Sayyaf mengatakan yang bisa mereka lakukan adalah terus membiayai diklat mujahidin Indonesia di akademi militer miliknya. Selain itu, Syaikh Rasul Sayyaf berjanji akan membantu perjuangan Darul Islam kalau Afghanistan sudah merdeka.

 

JAMA’AH ISLAMIYAH

Leave a comment

Pada akhir 1987 Jama’ah Darul Islam berhasil mengkonsolidasi diri. Berbagai faksi DI berhasil disatukan, dan sepakat mengangkat Ajengan Abdullah Masduki sebagai imam baru DI. Kelompok usroh pimpinan Abdullah Sungkar ikut bergabung. Sungkar sendiri diangkat menjadi KUKT (Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi) Luar Negeri atau semacam Menteri Luar Negeri. Peran Sungkar sangat sentral, karena program utama DI dibawah pimpinan Ajengan Masduki adalah diplomasi luar negeri dan militerisasi. Keduanya sempat berkunjung ke Afghanistan menemui Syaikh Rasul Sayyaf untuk meminta bantuan militer. Syaikh Sayyaf menyetujui untuk terus membiayai diklat militer bagi para kader DI.

Namun keakraban antara Sungkar dengan Ajengan Masduki berjalan singkat. Pada awal 1990-an keduanya berselisih. Salahsatu penyebabnya adalah kritikan keras Abdullah Sungkar terhadap praktik keagamaan Masduki yang dianggap menyimpang karena Imam DI ini seorang penganut ajaran thariqat, yang dianggap menyimpang menurut paham Salafy Jihadi. Sungkar meminta Masduki meninggalkan paham Sufi itu. Namun Masduki menolak, ia tetap kukuh dengan keyakinannnya. Buntut dari perselisihan ini, Sungkar dan kawan-kawan memutuskan untuk keluar dari Darul Islam pada 1992. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa imtishol (perpecahan).

Pasca imtishol (perpecahan) dengan DI (Darul Islam), Abdullah Sungkar membuat jama’ah baru pada 1993. Jama’ah baru ini meniru sebuah jama’ah jihad di Mesir. Sungkar memilih nama yang sama: Jama’ah Islamiyah. Tak hanya itu, sembilan prinsip perjuangan gerakan jihad Mesir ini juga diadopsi oleh jama’ah baru Sungkar. Orientasi jihadnya pun sama, berjihad melawan pemerintah murtad. JI melihat rezim orde baru sebagai musuh utama yang harus diperangi. Alasannya memerangi kafir mahaly [kafir tempatan] yaitu pemerintah murtad lebih utama dari jihad melawan kafir ajnaby [kafir asing], yang kini menduduki negeri-negeri Islam seperti Palestina, Mindanao, Kashmir dan Iain-lain. Kenapa? Karena musuh yang dekat, lebih berbahaya dari musuh yang jauh. Selain itu, menurut syari’at Islam, hukuman bagi orang murtad lebih berat dari kafir harby [kafir asli].

Memerangi musuh yang jauh, seperti Amerika dan sekutunya tak terpikirkan saat itu. Gagasan memerangi Amerika baru mengemuka pada 1998-an. Saat itu Usamah bin Laden mengeluarkan fatwa yang intinya menyatakan, membunuh warga Amerika di mana pun mereka, berada adalah seutama-utama kewajiban setelah iman kepada Allah. Seruan ini menimbulkan pro-kontra di tubuh JI. Muncul kubu yang pro Bin Laden yang dipimpin oleh Hanbali dan Ali Ghufron alias Mukhlas. Sebaliknya ada juga kubu yang dipimpin Thoriqudin dan Ahmad Roihan yang tetap bersikukuh bahwa prioritas utama JI adalah jihad melawan musuh yang dekat, yaitu pemerintah murtad, bukan musuh yang jauh seperti Amerika.

Pro kontra ini sempat mereda setelah muncul konflik komunal antara umat Islam versus umat Kristen di Maluku dan Poso pada 1999/2000. Di wilayah konflik kedua kubu sepakat bahwa musuh utama mereka adalah kaum Kristen fanatik yang menyerang umat Islam. Pertanyaan mana yang lebih utama diperangi apakah musuh yang jauh seperti kafir harby, atau musuh yang dekat seperti kaum murtad menjadi tak relevan karena di wilayah konflik musuh yang dekat, justru orang-orang kafir harby, yaitu umat Nasrani.

Konflik komunal reda pada pertengahan 2001. Tanpa disangka terjadi aksi penyerangan WTC 9 September 2001. Aksi penyerangan ini menginspirasi kembali kelompok Hanbali untuk melaksanakan hajat mereka berperang melawan musuh-musuh Islam, yaitu Amerika dan sekutunya. Setahun kemudian hajat itu terlaksana. Bom mobil seberat satu ton meledakkan dua pusat hiburan di Bali pada 12 Oktober 2002. Hasilnya mengerikan, 200 orang kehilangan nyawa, 600-an orang terluka. Aksi ini sempat disebut-sebut sebagai serangan terbesar pasca 9/11. Bab ini akan menggambarkan perjalanan sebuah jama’ah jihad di Indonesia pada periode 1993 hingga Bom Bali 2001. Bagaimana Sungkar dan kawan-kawan membuat jama’ah baru ini, serta buku-buku apa saja yang menjadi rujukan juga akan dipaparkan di sini. Selain itu proses militerisasi JI dalam rangka mempersiapkan jihad akan diterangkan di bab ini. Tak lupa juga akan diungkapkan bagaimana ajaran-ajaran Salafy Jihadi dipraktikkan dalam berbagai aksi teror mulai tahun 2000 hingga 2002.

 

Older Entries