Tujuan pembinaan personal adalah pembinaan anggota di bidang agama dan militer. Kegiatan utamanya ada dua, tarbiyah atau pembinaan agama dan tajnid atau pembinaan asykari. Setiap anggota harus mengikuti keduanya. Tarbiyah ini sama dengan pembinaan usroh atau pengajian-pengajian kecil berkala yang dibimbing seorang murobbi. Tujuannya membina para anggota JI agar punya pemahaman Salafy Jihadi yang mendalam.

Berbeda dengan tarbiyah, tajnid bertujuan mencetak para kader JI menjadi tentara. Sebagai jama’ah jihad, JI menuntut para anggotanya mempunyai kemampuan militer yang memadai. Kegiatan tajnid ini biasanya dikemas dalam berbagai aktivitas olahraga, seperti lari jauh, main bola, berenang, naik gunung dan Iain-lain. Selain itu ada acara mukhayyamah atau camping yang memadukan antara latihan fisik, pendalaman ilmu kemiliteran serta ilmu agama. Acara mukhawayah ini biasanya berlangsung selama dua atau tiga hari di alam bebas seperti gunung, pantai, tepi sungai atau perbukitan. Dalam acara ini, peserta diajarkan ilmu-ilmu kemiliteran seperti teknik survival, taktik perang, map reading, serta beladiri. Tak hanya itu, dalam kegiatan ini juga diisi pengajian-pengajian yang membahas materi i’dad dan jihad. Biasanya, instrukturnya para alumni Afghanistan.

Selain tajnid, JI juga punya program diklat militer. Bedanya, program ini tak bisa diikuti oleh semua anggota. Kader-kader terbaik JI diseleksi untuk ikut diklat militer di Mindanao, Filipina Selatan. Di sana JI memiliki muaskar tadrib (kamp latihan militer) sendiri yang disebut kamp Hudaibiyah. Kamp yang berdiri pada 1994 ini awalnya tempat pelatihan militer pasukan elite MILF (Moro Islamic Liberation Front). Namun sejak 1997, Hudaibiyah diserahkan pihak MILF kepada JI. Sejak itu JI mulai membuka semacam program takhasus atau pelatihan perang cepat yang hanya berlangsung beberapa minggu saja. Beberapa kader JI yang pertama kali ikut program ini antara lain Noordin M. Top, DR. Azahari Husein, serta Ali Fauzi, adik tiri Ali Ghufron alias Mukhlas. Sebagai Instrukturnya adalah Faturrahman Al Ghozi alias Saad, alumni Afghanistan angkatan 9/1990. Baru pada 1998, JI membuka program diklat militer, Kuliyah Harbiyah dan Daurah Asasiyah Askariyah. Program pertama adalah pendidikan akademi militer selama tiga semester atau 1,5 tahun. Sedangkan program kedua adalah pelatihan perang cepat selama enam bulan. Para instrukturnya diambil dari para alumni Afghanistan seperti Nasir Abas (Angkatan 5/1987), Imron Baihaqi alias Musthopa (Angkatan 2/1986), Thoriqudin alias Hamzah (Angkatan 2/1986), Muhaimin Yahya alias Ziad (Angkatan 2/1986) dan Iain-lain. Dalam waktu dua tahun (1998-2000) kedua diklat militer ini berhasil meluluskan 170-an kader JI dari Malaysia dan Indonesia.

Bila dibandingkan, ilmu askary alumni Mindanao masih kalah dari veteran Afghanistan. Penyebabnya, fasilitas pelatihan di kamp Hudaibiyah masih kurang memadai. Meskipun begitu, para alumni Moro punya keunggulan dari alumni Afghanistan yaitu: “memiliki pengalaman tempur karena mereka belajar dan berlatih, sambil terlibat langsung dalam perang kontak senjata.

“Pengerahan paling banyak penghuni kamp Hudaibiyah adalah ketika ikut terlibat dalam konsentrasi mempertahankan wilayah pejuang Bangsa Moro dari serangan ‘operasi all out war’ yang dilancarkan oleh tentara Filipina (AFP) pada sekitar Juli 2000. Pengalaman membela nasib Bangsa Moro bersama pejuang Bangsa Moro memberkan semangat juang yang baru bagi anggota Al Jama’ah Al Islamiyah beserta kelompok orang-orang Indonesia yang lain.

Selain ke Mindanao, sejak akhir 1990-an, JI juga mengirim para kadernya ke Afghanistan untuk ikut tadrib askary di Muaskar Al Faruq milik Al Qaida. Di sana mereka ikut berbagai kursus kemiliteran mulai dari daurah ta’sisiyyah atau kursus dasar kemiliteran hingga kursus Mudarribin atau kursus untuk mencetak kader-kader mudarrib (pelatih). Kursus yang terakhir tak bisa diikuti sembarang orang. Pesertanya harus memiliki kualifikasi khusus, di antaranya sudah lulus daurah ta’sisiyyah, dan beberapa diklat lainnya. Dari ratusan pelamar hanya dipilih 30 orang saja yang boleh ikut daurah ini. Setelah mengikuti pendidikan selama empat bulan, 10 lulusan terbaik akan dipilih menjadi mudarrib. Seorang anggota JI menceritakan pengalamannya ikut pelatihan ini,

“Saya pun mulai mengikuti latihan dalam kursus mudarribin. Latihan yang akan saya jalani adalah merupakan perkembangan dari daurah ta’sisiyah. Setiap tahapan akan diajarkan dengan lebih detail agar kami benar-benar menguasai materi. Kami juga diberi latihan tambahan seperti taktik perang kota dan sniper. Kami juga diberi fasilitas menembak dengan amunisi yang tidak terbatas. Kursus yang saya jalani ini mengambil waktu sekitar 4 bulan. Saya mulai merasakan manfaat dari kursus yang saya jalani tersebut. Saya mulai yakin dan percaya diri untuk bisa mengajar para peserta baru di daurah ta’sisiyyah. Ada beberapa orang tidak dapat melanjutkan kursus, karena cedera, ketika latihan Taktik Perang Kota.

“Dalam masa empat bulan saya menjalani empat tahapan pelajaran. Yang pertama adalah perkembangan tentang senjata-senjata ringan dan senjata-senjata anti pesawat seperti Grenov, Dashaka, Zukoyak dan Shalaka, yang diajar oleh Huzaifah (mudarrib asal Yaman). Tahapan kedua adalah perkembangan dari pelajaran tofografi yang diajar oleh Abu Faroj (mudarrib asal Libia). Tahapan ketiga, adalah perkembangan dari pelajaran mengenai bahan-bahan peledak, yang diajar oleh Abu Toha (mudarrib asal Al Jazair). Tahapan yang terakhir, adalah pelajaran tentang Sniper dan Taktik Perang Kota yang diajar oleh Sawad (mudarrib asal Yaman).

Selama dua tahun (1999-2001), sekitar 20-an orang JI pernah ikut pelatihan milker di Muaskar Al Faruq. Kebanyakan mereka adalah kader JI dari Malaysia seperti Wan Min Wan Mat serta Dr. Azahari Husein.