Home

HAKEKAT ISLAM KAFFAH

Leave a comment

Islam kita yakini sebagai agama penyempurna, yaitu agama yang menuntaskan firman-firman Allah kepada umatnya. Karena itu, seharusnya dengan disampaikannya Islam oleh Nabi Muhammad saw, maka tidak ada lagi rujukan lain bagi umat manusia, khususnya kita yang mengaku diri sebagai Muslim, kecuali al-Qur’an dan Hadits. Jika saja semua orang mau mengacu kepada al-Qur’an dan Hadits itu, maka Allah menjanjikan bahwa dunia ini akan seperti surga, damai, tenang, sejahtera, tidak ada kejahatan, tidak ada polusi, tidak terjadi pemanasan bumi ata.u kekurangan bahan pangan dan mahalnya minyak bumi, tidak ada perang dan terorisme dan sebagainya.

Subject-of-Islam

Sayangnya, faktanya umat manusia tidak seperti yang kita harapkan. Al-Qur’an sendiri sudah mengingatkan bahwa umat manusia diciptakan berbeda-beda dan bergolong-golongan agar saling mengenal, seperti dalam firman-Nya: “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. al-Hujurat [49]: 13), tetapi umat manusia justru terus-menerus saling berperang, saling berbunuhan, dan saling menzalimi. Beberapa di antaranya, bahkan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an tentang jihad, sebagai alasan untuk memerangi orang-orang yang tak sepaham atau sealiran dengannya. Bukan hanya yang berlainan agama, tetapi juga yang seiman.

Tentu saja Islam bukan dimaksudkan untuk saling menghancurkan, karena Allah sendiri menghendaki sesama Muslim untuk saling bersaudara. Bahkan, dengan seluruh umat manusia dan mahluk hidup lain di muka bumi ini, manusia harus saling memelihara dan menjaga. Masalahnya, setelah Nabi dan para sahabat wafat, maka tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang mendapat petunjuk langsung dari Allah swt. atau Rasulullah sendiri. Semua orang mendapatkan pengetahuan, penghayatan, bahkan sampai keimanannya dari mendengar, atau belajar dari orang lain, atau membaca karangan-karangan manusia lain. Pendek kata, kita harus mengacu kepada narasumber lain di luar Allah dan Rasulullah sendiri.

Narasumber itu bisa saja ulama kaliber dunia, atau ustadz lokal, tetapi semuanya hanyalah manusia biasa, dan setiap manusia biasa tidak bisa melepaskan diri dari sifat subjektifnya. Maka, tidak mengherankan jika al-Qur’an yang hanya satu itu, bisa memunyai ratusan, bahkan mungkin ribuan tafsir. Tidak aneh juga jika hadits-hadits itu berjenjang dari yang paling shahih sampai yang paling tidak shahih. Sementara hadits shahih yang diajarkan oleh seorang kiai atau ustadz, justru dianggap tidak shahih oleh kiai atau ustadz yang lain. Itulah sebabnya Islam terbagi-bagi dalam begitu banyak aliran: Syiah, Sunni, dan sete usnya, dan antaraliran itu bisa saling berperang, seperti yang terjad antara kaum Syiah dan Sunni di Irak pada tahun 2000-an ini.

Bagaimana cara mengatasi hal vang tidak diharapkan ini? Wallahu a’latn bis-shawwdb. Tetapi, ada satu hal yang kiranya masih bisa kita lakukan, untuk setidaknya mengurangi atau mencegah kemungkinan penyalahgunaan konsep ‘jihad’ untuk tujuan-tujuan menggunakan kekerasan terhadap golongan lain. Terlepas dari keyakinan masing-masing, tetapi setiap perbuatan yang merugikan orang lain (membunuh, membom, merampok, dan lain-lain), walaupun dilakukan atas nama jihad, tetap tidak dibenarkan, karena hal itu sudah merupakan tindakan kriminal yang terkena sanksi hukum negara. Tulisan ini ditujukan untuk meluruskan apa yang dimaksud dengan jihad itu sebenarnya. Intinya adalah bagaimana menafsirkan jihad itu dengan tepat, sehingga hasilnya bermanfaat untuk membesarkan Islam dan menyejahterakan umat. bukan justru malah saling menghancurkan antarumat.

Kami berterima kasih, karena dari penelitian-penelitian di lembaga kami, terbukti bahwa faktor penyebab utama dari timbulnya berbagai perilaku kekerasan (termasuk terorisme) yang dilakukan oleh beberapa saudara kita yang seiman, adalah menafsirkan konsep jihad seperti yang diajarkan oleh guru-guru, ustadz-ustadz, atau tokoh-tokoh panutan mereka, sedemikian rupa, sehingga mereka beranggapan bahwa jalan kekerasan itulah jalan satu-satunya yang benar. Karena itu, memang sangat diperlukan tafsir-tafsir yang lebih rasional dan lebih mendekati apa yang dimaksudkan oleh Islam yang sesungguhnya, untuk mencegah terulangnya kembali aksi-aksi kekerasan dengan nengatasnamakan jihad di kemudian hari.

MEMAKNAI BAIAT

Leave a comment

Dalam rangka menegakkan hukum Allah dan memerangi mereka yang tidak melaksanakannya dalam bentuk  sebuah negara Islam, sebagian kalangan umat islam berpandangan perlu adanya  seorang pemimpin (amir/khalifah) yang ditaati dalam segala hal. Menurut mereka, Rasullullah dalam banyak hadisnya memerintahkan untuk memilih seorang pemimpin (amir) dan melakukan baiat (ikrar kesetiaaan) kepadanya dalam segala hal termasuk untuk berperang dan mati. Di antara dalil yang mereka gunakan:

i_love_islam-38051

“Salamah ra. berkata, aku telah membaia’at Rasullullah kemudian menepi  ke sebuah pohon. Ketika orang mulai berkurang, Rasullullah berkata,”Hai putra al-Akwa’, tidakkah engkau membai’at?” Aku menjawab, “Aku telah berbaiat”. Kemudian aku membaiatnya sekali lagi. Salaam ditanya , “saat itu kalian berbaiat untuk apa?” ia menjawab, “untuk mati”.

“Dari Abdullah bin Umar vdiriwayatkan, ia pernah mendengar Rasullullah bersabda, “Barangsiapa mangkir dari ketaatan maka ia  menjumpai Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak mempunyai alasan/ hujjah. Dan barang siapa mati dan belum berbaiat maka ia mati(dalam keadaan berdosa seperti  keadaan masyarakat)jahilliah”.

QS.an-Nisa [4] : 59 yang berbunyi:

“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah  (al-Quran) dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar  beriman kepada Allah dan hari kemudian. Myang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Juga dipahami sebagai perintah untuk mengangkat dan menaati pemimpin (amir) dengan melihat sesbab pewahyuannya yang terkait dengan kisah Abdullah bin Hudzaifah yang ditunjuk sebagai amir (panglima ) dalam sebuah peperangan yang tidak diikuti oleh Rasullullah.

Berdasarkan dalil-dalil di atas dan lainnya, banyak komunitas Muslim yang menekankan pentingnya berbaiat kepada seorang yang dianggap layak, termasuk umtuk berperang dan mati membela agama seperti diyakininya.1

Kata baiat berasal dari akar kata yang terdiri dari huruf ba-ya-‘a. maknanya berkisar pada membeli  atau menjual. Baiat diartikan perjanjian dan ikrar kesetiaan  kerena seseorang yang melakukannya  seakan ‘menjual’ apa dimilikinya kepada orang lain yang dipercayainya dan memberikan seluruh jiwa, ketaantan dan urusannya dengan sepenuh hati.2

Baiat dengan penegrtian ini disebut dalam al-Quran beberapa kali antara lain:

1)    Dalam Qs.al-Fath [48]:10:

“ Bahwasannya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji  setia kepada Allah. Tangan Allah di  atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menempati janjinya kepada Allah , maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.


1 Baca pandangan dan argumentasi mereka dalam buku al-Faridhah al-Ghaibah, dalam Buhuts  wa Fatawa Islamiyyah , vol. 3 h. 415-416.

 

2 Ibnu Manzhur, lisan al-arab, vol.8 h. 23.

Older Entries